Buku: Radio, Riset Khalayak, dan Persaingan Media

Diterbitkan oleh UNESCO Jakarta
November, 2003
Editor: Yunita Mandolang

Pengantar Editor. Saat pertama kali manusia berhasil mendarat di  bulan, Jeihan, seorang pelukis asal Solo, spontan bereaksi dengan menulis puisi yang berjudul “Buat Kau D. Sudiana”. Jeihan memulai  baris pertama sajaknya dengan angka-angka 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9, lalu disusul kalimat bulan kehilangan magis. Menurut Jakob Sumardjo, seorang pengamat sastra, deretan angka-angka itu adalah lambang kuantitas. Segala sesuatu terukur dengan derajat kepastian yang sahih. Tiba-tiba bulan kehilangan magis.

Bulan adalah lambang sesuatu yang belum terungkap misterinya secara kuantitatif. Dan ketika manusia sudah mendarat di bulan, maka bulan yang misterius itu sudah bukan hal yang asing lagi. Mitos bulan sebagai puteri cantik, gugur sudah. Tergantikan hamparan padang pasir yang luas, gersang, dingin dan sepi.

Memikirkan bulan nan cantik seperti layaknya yang terlihat dari bumi, tentu jauh lebih menyenangkan daripada mengetahuinya sebagai benda angkasa yang bopeng. Saat performa radio diukur melalui riset dan diterjemahkan melalui angka, reaksi yang mirip terjadi. Utamanya bila temuan riset tidak membuktikan gambaran baik tentang stasiun radio, sesuai dengan asumsi yang ada sebelumnya.

Angka-angka hasil riset kemudian mampu menciptakan identitas pada sebuah radio, yaitu nomor wahid atau nomor buncit. Dengan penomoran itu, stasiun radio langsung jadi bagian dari sebuah daftar yang tidak lagi ada di tangan si pemilik. Si pemilik tiba-tiba kehilangan otoritasnya dalam menggambarkan sosok radionya. Jika sebuah radio mengaku diri sebagai radio yang memiliki banyak pendengar dan kesemuanya mempunyai daya beli tinggi, maka pernyataan tersebut baru dapat dipercaya bila hasil riset juga mencerminkan hal yang sama. Dengan demikian, riset telah menyisihkan pentingnya perbedaan: keadaan sebenarnya atau imajinasi.

Pergulatan radio komersial dalam menghadapi hasil riset khalayak, melibatkan lembaga pelaksana riset, biro iklan dan pengiklan, sebagai pihak yang paling merasa berkepentingan untuk mengetahui siapa dan berapa orang yang mendengarkan. Untuk mengatasi rasa tidak puas terhadap hasil riset dan menghadapi kuasa pengiklan atas radio–dalam hal radio sebagai media iklan sekaligus obyek riset–diperlukan pemahaman akan tujuan dan kebutuhan masing-masing pihak dalam melaksanakan dan menggunakan riset. Untuk itulah buku ini disusun.

Buku ini tidak dimaksudkan untuk memuat penjelasan tentang teori-teori riset khalayak radio dan mempublikasikan hasil risetnya. Buku ini bertujuan untuk membekali pengelola radio dalam memahami persoalan yang ada di seputar riset khalayak, maksud dan kegunaannya bagi pengembangan radio, perannya dalam persaingan media, termasuk pro-kontra yang menyertainya.

Bab 1 antara lain memaparkan hal-hal yang telah diteliti oleh Nielsen Media Research–sebuah lembaga di bawah naungan ACNielsen–berikut metode riset khalayak yang digunakan. Pembaca bisa mendapat gambaran tentang sisi-sisi mana saja dari radio yang telah diketahui pihak luar, termasuk pengiklan, dengan menggunakan data hasil riset 2002. Bab ini dilengkapi dengan tanya jawab yang memuat isu tentang validitas riset yang sering dipertanyakan oleh insan radio.

Bab 2 mengetengahkan fakta bahwa ada radio-radio yang sudah memahami riset khalayak, bukan lagi pada tingkatan arti penting riset, tapi justru sudah menangguk keuntungan dari hasil riset yang telah dilakukannya. Errol Jonathans, direktur siaran radio Suara Surabaya mengetengahkan proses peralihan pendekatan pengembangan bisnis radio Suara Surabaya, dari instinct menuju scientific, yang ternyata telah mendukung keberhasilan radio dalam mengemas program radio hingga mampu menempatkan diri sebagai radio yang mempunyai harga iklan tertinggi sekaligus memperoleh angka pendapatan iklan terbesar di Indonesia.

Chandra Novriadi, komisaris Masima Corporation memaparkan pentingnya riset dari sudut pemasaran. Melalui penjelasannya, pemain bisnis radio kembali diingatkan untuk mengamati dimensi lingkungan bisnis masa kini sembari mengenali model bisnis radio swasta yang masih sering salah dipahami. Bab dua ini dilengkapi pula dengan tanya jawab yang berkisar pada pengalaman kedua radio dalam melakukan riset mandiri, juga dalam menindaklanjuti hasil riset untuk pengembangan program dan aktifitas pemasarannya.

Bab 3 adalah giliran perusahaan periklanan memaparkan betapa kebutuhan akan riset khalayak adalah hal mutlak demi meyakinkan klien sekaligus mengukur keberhasilan strategi pemasangan iklan. Pada bagian ini pembaca dapat memahami bagaimana hasil dari berbagai riset diolah kembali sedemikian rupa, agar pengalokasian iklan tidak meleset baik biaya yang dikeluarkan, jumlah spot iklan, waktu penyiaran, pemilihan media maupun khalayak yang dituju.

Achjuman A. Achjadi, managing director Starcom, banyak mengungkap faktor-faktor yang membuat radio kalah bersaing dengan media lain. Paparannya dilengkapi oleh Gunadi Sugiharso, presiden direktur Lowe Indonesia dan chairman Initiative Media Indonesia yang membagi temuannya tentang perubahan pada industri radio di Indonesia, sehingga membuat pengiklan makin bergantung pada riset. Bahasannya menggugah para pengelola radio agar menyadari potensi radio yang selama ini ada, namun belum digali maksimal untuk mencapai keberhasilan finansial.

Buku ini disusun dari bahan presentasi di Seminar Riset Khalayak 2002, yang pada tiap bagiannya, editor memperkaya bahasannya dengan materi yang didapat dari berbagai buku dan internet. Penambahan tabel, grafik dan analisis juga dilakukan untuk memudahkan pembaca dalam memahami persoalan.

Bab 4 memuat catatan akhir sebagai penutup. Beberapa hal yang dikemukakan antara lain: bagaimana hasil riset khalayak di tingkat internasional juga tidak lolos dari kritik, siapa sebenarnya pemrakarsa riset, dan bagaimana teknologi dimanfaatkan untuk meningkatkan akurasi hasil riset. Dari catatan tersebut, pembaca dapat melengkapi pemahaman tentang isu yang berkembang seputar riset khalayak radio, yang tidak terungkap pada bab-bab sebelumnya.

Riset khalayak tentu tidak melulu berkaitan dengan masalah bisnis sehingga khalayak hanya bisa dianggap sebagai pasar semata. Namun, reaksi dalam menyikapi riset khalayak radio tetap beragam. Sebagian skeptis. Sebagian lagi menganggap bahwa segala hal yang terkait dalam pelaksanaan dan penggunaan riset khalayak adalah langkah untuk mengatasi perkembangan dunia media, dan usaha untuk menyejajarkan radio dengan mitra bisnisnya. Sebuah reaksi yang mirip ketika Matt Wallace menyaksikan Apollo 11 mendarat di bulan.

Waktu itu, Wallace baru berumur delapan tahun. Seperti layaknya bocah laki-laki lain seusianya, ia pun terkesan pada film-film roket, antariksawan, dan dunia mahluk luar angkasa, sesuatu  yang oleh orang tuanya dianggap fiksi-ilmiah, tapi bagi Wallace adalah  suatu hal yang betulan. Dan, pada 20 April 1969, ia menyaksikan manusia pertama melangkah di bulan. Flash Gordon jadi Neil Armstrong! Sejak itu, Wallace yang  tinggal di Greensboro, North Carolina, merasakan bahwa dirinya telah menjadi bagian dari mahluk penjelajah angkasa.